Sabtu, 02 Juli 2011

Tersenyumlah, Bulan.


Hari ini hari Minggu. Bulan bersama orang tua dan Ismi, adiknya sedang bersiap-siap untuk pergi ke kebun teh milik Pak Ardi, teman ayah Bulan. Bulan merengek-rengek kepada ayahnya untuk dapat berlibur di kebun teh. Karena selama mereka tinggal di Kecamatan Damai, Bulan belum pernah pergi ke kebun teh. Dan kebetulan rekan bisnis ayah Bulan mempunyai kebun teh, maka ayah bulan mengiyakan saja permintaan anak sulung yang disayanginya itu.
            Setelah lebih kurang satu jam, mereka sampai di kebun teh milik Pak Ardi. Tetapi sesampainya mereka disana, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Bulan bersama keluarganya segera berteduh di rumah salah satu anak buah Pak Ardi. Namanya Pak Dede.
            Dua jam lamanya hujan yang deras tersebut mengguyur kawasan perkebunan teh. Setelah memastikan hujan berhenti, Bulan mengajak Ismi untuk berkeliling di kebun teh. Tidak lupa dibawanya kamera digital. Dia ingin mengambil beberapa foto di kebun teh.
            “ Ayah... Aku dan Ismi mau berkeliling sebentar. Boleh kan, Yah? “
            “ Boleh... Tapi hati-hati ya, Nak! Tanahnya pasti becek. Awas terpeleset! “
            “ Baik, Yah! Kami akan hati-hati. Kami kan sudah besar, Yah! Kami bisa menjaga diri kami. Ya kan, Ismi? “
            “ Betul... Betul... Betul... “ jawab Ismi sambil meniru tokoh kartun di televisi.
            Setelah berpamitan kepada orang tua mereka, Bulan dan Ismi segera berjalan-jalan mengelilingi kebun teh. Mereka melangkah dengan pelan dan hati-hati, takut terpeleset. Tidak lupa mereka mengambil foto dengan background perkebunan teh. Lumayanlah, kalau fotonya bagus kan, bisa dijadikan foto profil di facebook.
            Saat mereka sedang asyik berfoto, tiba-tiba dari arah tebing terdengar suara gemuruh. Makin lama makin besar.  Pemetik teh yang berada tidak jauh dari mereka berteriak dengan panik, “ Longsor... Longsor... “
Bulan dn Ismi menjadi ikut-ikutan panik. Mereka bingung, harus berlari ke arah mana. Harus menjauh dari tebing atau bahkan harus berlari mendekati tebing. Karena rumak Pak Dede berada persis dibawah tebing. Disana ada orang tua mereka.
Ismi yang panik tiba-tiba menangis. “ Kak... Gimana ini, Kak? “
“ Kamu tunggu disini aja. Biar kakak yang pergi ke rumah pak Dede. Disana ada Ayah dan Ibu!“
“ Tapi Kak, disana sangat berbahaya. “
Tetapi bulan tidak menghiraukan ucapan adiknya. Dia lalu berlari, menuju ke rumah Pak Dede. Sementara orang lain malah berusaha menyelamatkan diri dengan menjauh dari tebing. Belum sampai di rumah pak Dede, tiba-tiba dari atas tebing berton-ton tanah meluncur disertai dengan pohon-pohon yang tumbang. Dan kemudian menimbun apa saja yang ada di bawahnya. Termasuk rumah Pak Dede. Bulan berhenti. Dia mengangis melihat rumah Pak Dede dari kejauhan. “ Ayah... Ibu... “ teriaknya. Lalu dia jatuh terduduk dan terus menangis. Lalu ada seorang bapak yang menghampirinya, “ Nak, jangan duduk saja. Kamu harus menyelamatkan dirimu. Ayo, Nak! Kita harus lari, menjauh dari sini. Longsornya menuju ke sini! “ teriak bapak itu. Lalu Bulan pun berlari mengikuti Bapak itu sambil berlinangan air mata.

Sudah seminggu semenjak peristiwa itu terjadi. Dan sudah seminggu pula Bulan menjadi anak yatim piatu. Menurut anak Pak Dede yang selamat, saat peristiwa itu terjadi, orang tua Bulan sedang tidur. Sehingga mereka tidak mengetahui adanya longsor. Pak Dede dan isterinya juga tidak dapat terselamtkan. Mereka ikut tertimbun bersama orang tua Bulan.

Semenjak kejadian itu, Bulan yang dulu ceria menjadi pendiam. Dia sering megurung diri di kamar. Dia juga jarang makan sehingga badannya menjadi kurus. Dia terus menyalakan dirinya atas kematian orang tuanya. Gara-gara dialah orang tuanya tewas tertimbun longsor. Andai saja waktu itu dia tidak merengek-rengek ingin pergi ke kebun teh, tentu hal ini tidak akan terjadi.
Sementara Ismi, adiknya, meskipun sedih, dia tidak seperti Bulan. Seringkali dia menghibur kakaknya itu. Menjelaskan, bahwa itu semua adalah takdir. Tetapi Bulan tidak pernah menghiraukannya. Sahabat-sahabatnya pun sudah pernah mencoba menasehatinya. Tetapi toh hanya dianggap angin lalu saja oleh Bulan.
Bik Erni, orang yang sudah bekerja selama dua puluh tahun pada orang tua Bulan masuk ke kamar Bulan dan membawa nampan yang diatashnya terdapat makanan dan minuman. Dia prihatin dengan keadaan anak majikannya itu.
“ Assalamua’laikum, Neng... “ salamnya. Bulan menoleh sebentar ke arah Bik Erni kemudian melanjutkan kembali lamunannya. Bik Erni menaruh nampan di atas meja, lalu duduk disamping Bulan.
“ Neng... Neng Bulan kenapa sih? Kok jadi pendiam begini? Mana Neng Bulan yang dulu ceria? Mana Neng Bulan yang selalu membawa kebahagiaan di rumah ini? “ ucap Bik Erni pelan.
Bulan menggeleng. “ Aku nggak tahu, Bik. Entah Bulan yang itu sudah kemana. Mungkin telah tertimbun bersama longsor “ jawabnya.
Bik Erni menitikkan air mata. Sedih mendengar jawaban Bulan yang seperti itu. “ Neng... Neng Bulan nggak bisa seperti ini terus. Orang tua Neng Bulan tentunya tidak ingin melhat Neng Bulan seperti ini. Neng tahu nggak kenapa Neng diberi nama Bulan? “
Bulan menggeleng.
“ Bulan. Bulan itu muncul di kegelapan malam. Dia memberikan cahaya untuk sekitarnya. Meskipun lingkungan sekitarnya gelap, tetapi dia bisa meneranginya. Seperti itulah Neng Bulan. Meskipun orang di sekeliling Neng Bulan sedang sedih, marah, dan bosan, tetapi dengan kehadiran Neng Bulan, semua itu bisa hilang. Neng bisa memberikan keceriaan dan kebahagiaan untuk orang-orang disekitar Neng. Waktu Neng lahir, orang tua Neng sangat bahagia. Karena setelah tiga tahun menikah, anak yang mereka tunggu-tunggu akhirnya lahir juga. Tangisan Neng Bulan saat itu malah membuat ceria orang-orang disekitar Neng Bulan. Mereka sangat bahagia. Tetapi, bila mereka melihat Neng Bulan yang seperti ini, pasti mereka akan sangat sedih. “ jelas Bik Erni
Bulan bangun dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah jendela. Dilihatnya bulan purnama di langit yang sedang bersinar terang. Mata Bulan menjadi berkaca-kaca mendengar cerita Bik Erni. Bik Erni benar. Dia tidak bisa seperti ini terus. Lagipula masih ada Ismi yang harus dia jaga. “ tersenyumlah, Bulan. Demi orang tuamu, dan juga demi orang-orang disekelilingmu. “ ucap Bulan dalam hati.
“ Terima kasih, Bik. Aku janji, aku akan menjadi Bulan yang ceria seperti dulu. “

By: Syifaurrahmah Izzati
[aku lupa kapan pastinya menulis cerpen ini. seingatku, aku mendapat ide untuk membuat cerpen ini saat terjadi bencana longsor di daerah jawa barat]

2 komentar:

  1. moral cerita yg bagus, gan.
    life must go on...
    terima kasih atas cerpennya.
    salam

    BalasHapus
  2. sama2... ^_^
    terima ksh atas komentarnya...

    BalasHapus

bagi2 komentnya ya... ^_^