Sebenarnya postingan ini ku ketik tadi malam, hanya saja, karena modemku pulsanya habis, jadi baru pagi ini deh ku posting. Ini pu modem dapet minjem dari mbak kos. Hehehe
Hari ini merupakan hari
yang tidak akan terlupakan.
Pertengahan Mei ini Aku
dan teman-temanku akan melakukan observasi di tempat anak cacat fisik dan atau
mental. Yang mana laporan dari observasi ini akan menjadi nilai ujian akhir semester dua mata kuliah.
Psikologi klinis dan Psikologi Abnormal. Karena kebetulan dua mata kuliah ini
dosennya satu. Jadi observasi ini langsung satu paket.
Baiklah, langsung saja
mulai ceritanya.
Sabtu pagi yang cerah.
Jam setengah sepuluh aku berangkat bersama tiga orang temanku. Tidak lupa kami
mampir di pom bensin dahulu, karena jarum sudah hampir menunjukan ke huruf E.
Meski di beberapa titik
ada kemacetan, akhirnya setelah Setengah jam perjalanan kami sampai juga di
tempat yang kami tuju. Di depan bangunan tersebut terdapat sebuah papan putih
yang bertuliskan “Yayasan Pendidikan Anak Cacat”.
Setelah memarkirkan
motor, kami segera memakai jas almamater yang sebelumnya terlipat dengan rapi
di dalam tas. Ada perasaan deg-degan saat akan memasuki gedung YPAC tersebut.
Karena kami akan bertemu secara langsung dengan orang yang menderita autis,
Retradasi Mental (RM), ADHD/Hiperaktif, dan beberapa penyakit fisik dan mental
lainnya yang selama ini ku dapatkan di perkuliahan.
Begitu masuk, terlihat
seorang wanita yang agaknya sudah berusia lanjut, duduk di belakang meja
resepsionis, dan seorang bapak yang sedang duduk di atas kursi roda.
Kami menjelaskan maksud kedatangan kami
kepada ibu resepsionis tersebut, dan kami disuruh untuk masuk ke sebuah ruangan
dan bertemu dengan bapak –aku lupa namanya-. Terjadi perbincangan kecil antara
aku, teman-temanku dan bapak tersebut. Kami menanyakan tentang apa saja
kegiatan di YPAC ini. Begitu dijelaskan sedikit, kami tertarik untuk melihat
langsung anak-anak tersebut. Meski ya itu, ada perasaan deg-degan itu tadi.
Awalnya
kami ingin melihat ke sekolahnya, tetapi
ternyata mereka sedang mengikuti acara di Aula, jadi kami memutuskan untuk ke
Asrama saja.
Seorang
ibu yang ramah mengantarkan kami ke Asrama. Di depan ruangan tersebut, ada
seorang anak perempuan yang membawa bungkusan biskuit, begitu melewati kami,
anak itu menyapa kami dengan ramah sambil tersenyum, “Mbaaak… “ Meski ya
memang, pengucapannya agak kurang jelas. Tetapi kami masih bisa memahami apa
yang dia ucapkan.
Lalu kami masuk ke sebuah ruangan.
Sepertinya mereka merupakan penderita RM. Wajah mereka terlihat sama. Kalau
tidak salah namanya tipe mongoloid. Pertama masuk, ada perasaan takut pada
diriku. Sepertinya temanku juga merasakan hal yang sama. Tetapi kami berusaha
menutupi rasa takut tersebut dan berbaur dengan mereka. Aku dan teman-teman
langsung menyalami tangan mereka satu-satu. Rupanya mereka sedang belajar. Kata
pendamping yang ada di situ, mereka tetap diberitahu, diberikan pelajaran,
meski terkadang mereka tidak mengerti. Baru sebentar kami berada di situ, si
pendamping buru-buru mengantarkan seorang anak RM itu keluar. Rupanya anak itu mengompol. Ada pandangan
jijik dari teman-temanku saat melihat hal tersebut. Dan tidak bisa dipungkiri,
sepertinya aku juga punya perasaan seperti itu.
Melihat anak-anak
seperti itu, seorang temanku tidak betah berada di dalam, dan kemudian mengajak
kami untuk melihat-lihat ruangan yang lainnya. Masih diantar ibu yang ramah tadi,
kami masuk ke sebuah ruangan. Ruangan ini terlihat berbeda dengan ruangan
sebelumnya. Saat akan masuk kami melepaskan sepatu. Di ruangan tersebut
lantainya dilapisi alumunium foil. Aku lupa menanyakan apa fungsi dari
alumunium foil tersebut.
Di ruangan tersebut
terdapat tiga orang penderita –kalau tidak salah- Sippi. Dua sedang terbaring di tempat tidur,
dan satunya lagi sedang duduk. Terlihat dua tangannya diikat dibelakang
tubuhnya. Kasihan.
Yang pertama kami
hampiri adalah seorang yang terlihat sangaaat kurus, seperti tulang berlapis
kulit. Dan tubuhnya tidak bisa digerakkan. Jadi dia hanya bisa berbaring saja.
Jujur, aku tidak berani saat melihatnya. Tetapi tidak mungkin bagiku untuk lari
keluar. Seorang temanku saja sampai menarik-narik bajuku saat kami baru
memasuki ruangan itu. Terlihat jelas, dia takut dan jijik mellihat orang-orang
tersebut. Padahal dia mengatakan ingin mengambil jurusan psikologi klinis,
berarti kan orang-orang yang seperti ini yang nantinya akan menjadi klien dia.
Tetapi katanya, “Lama-lama juga akan terbiasa”. Namanya Nur Fadillah, usianya
sekitar 25 tahun, berarti lebih tua dari kami. Karena fisiknya yang kecil kami
mengira jika dia masih anak-anak. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Kami menuju ke tempat
tidur selanjutnya. Tidak seperti sebelumnya yang tempat tidurnya empuk, dari
busa. Yang ini tempat tidurnya terbuat dari lempengan tembaga. Sama saja dengan
tidur di lantai dong kalau begitu. Tetapi ibu yang ramah itu menjelaskan, jika
tembaga tersebut berfungsi untuk menghilangkan zat fosil yang terdapat pada
tubuhnya. Namanya Yoga. Usianya tidak berbeda jauh dengan Mbah Nur tadi.
Tubuhnya sangat kaku, tidak bisa digerakkan. Kami semua bersalaman dengan Yoga,
setelah bersalaman, terlihat sebuah senyuman di wajahnya. Sepertinya dia
senang, mendapatkan tamu yang cantik-cantik dan imut-imut seperti kami ini.
#narsis. Katanya, jika ada yang datang, tapi tidak salaman, Yoga akan ngambek,
bahkan sampai menangis. Salaman tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang
datang perhatian padanya.
Dan yang terakhir, yang
tangannya diikat, aku lupa siapa namanya. Tetapi kalau tidak salah dia berumur
tigapuluhan. Tangannya diikat, karena khawatir dia akan memainkan mulutnya dan
menimbalkan bau yang tidak enak.
Saat akan keluar dari
ruangan tersebut, kami bersalaman dengan Yoga, kemudian aku menuju ke pinggir
tempat tidur Mbak Nur. Aku melihat tubuhnya, lalu ku genggam tangannya, aku
tersenyum sambil menatap wajahnnya. Melihat orang-orang seperti mereka aku
bersyukur, telah diberikan fisik dan mental yang sehat. Aku lalu berpamitan
pada yang tangannya diikat. Tetapi aku hanya melambaikan tangan saja, sambil
tersenyum. Aku takut untuk menghampirinya.
Keluar dari ruangan,
temanku yang tadi menarik-narik bajuku bernapas lega. Sepertinya berada di
ruangan tersebut merupaka tekanan bagi dirinya. Beberapa kali dia mengucapkan
“Serem…”, aku dan temanku yang lainnya hanya tertawa melihat tingkah temanku
tersebut jika mengingat cita-citanya ingin menjadi psikolog klinis.
Di depan ruangan tersebut
ada seorang ibu-ibu yang duduk di kursi roda. Sepertinya dia menderita
kelumpuhan pada kakinya. Tetapi mentalnya sehat-sehat saja. Sehingga kami bisa
berbincang-bincang dengan ibu tersebut. Anak-anak yang di asrama tidak terlalu
banyak, karena sebagian sedang mengikuti acara di Aula. Kami penasaran ingin
melihat acara tersebut, lalu kami menuju ke Aula. Acaranya sudah hampir
selesai. Beberapa anak terlihat duduk di depan ruangan tersebut. Tiba-tiba
seorang anak yang menggunakan kursi roda melaju kencang ke arah kami. Roda
kursi rodanya diputar menggunakn tangannya. Kami menghindar, karena takut dia
akan menabarak kami, tetapi kemudian anak itu berhenti tepat di depan kami. Dan
setelah itu dia tertawa karena sepertinya dia merasa telah berhasil mengerjai kami.
Ternyata mereka sama dengan anak normal lainnya. Suka bermain, dan jahil.
Karena acara di Aula
hamper selesai, kami kembali lagi ke Asrama. Dan duduk di depan ruangan yang
pertama kali kami masuki tadi. Ada dua orang anak yang duduk di bangku tersebut.
Anak perempuan yang menyapa kami saat kami datang, dan seorang anak yang
sebelumnya berada si ruangan yang pertama, namanya Koko. Aku langsung duduk di
sebelah anak perempuan tersebut. Sepertinya dia tidak “menyeramkan” seperti
anak lainnya.
Kami berkenalan.
Ternyata namanya adalah Dinda. Dia menyalami kami satu-satu dan mengatakan
“Mbak cantik deh…” kepada kami. Kami tersenyum mendengar kata-katanya.
“Dinda juga cantik…”
ucap seorang temanku padanya.
Dia tersenyum
mendengarnya. Kami berbicara panjang lebar dengannya. Sepertinya dia tidak
terlalu berbeda dengan anak normal lainnya, paling hanya pengucapannya yang
kurang jelas, dan giginya yang tumbuh tidak beraturan.
Temanku berinisiatif
untuk berfoto-foto, lalu aku mengambil gambar ku dan Dinda berdua. Rupanya
Dinda suka sekali difoto. Temanku mencontohkan gaya Cherrybelle padanya, “Ayo,
foto pake gaya Cherrybelle…”
Aku dan Dinda |
Seorang anak memakai
baju pramuka datang menghampiri kami, dan kemudian dengan paksa duduk di antara
Dinda dan Koko. Bahkan sampai memukul dan mendorong-dorong dua teman disamping
kiri kanannya. Aku menggeser tempat dudukku, agar Dinda juga dapat bergeser.
Ternyata anak itu menderita Hiperaktif. Alamak, sedangkan di Observasi ini aku
memilih kasus hiperaktif. Ternyata hiperaktif itu menyeramkan ya… Tidak jarang,
anak tersebut memukul jika keinginannya tidak tercapai. Aku sampai didorong dan
dipukul juga olehnya. Sereeem… Dua temanku megambil jarak dari anak tersebut.
Kalau tidak salah ingat, namanya Steven. Kami pun foto bareng. Lebih tepatnya
aku yang memoto mereka semua. Teman-temanku nyebelin. Tidak ada yang mau
gantian memoto. Aku lalu menunjukkan hasil jepretan ku pada anak-anak tersebut.
Saat aku menunjukkan ke Steven, tiba-tiba dia langsung merebut HP ku. Temanku
yang berusaha mengambil HP ku malah di pukul olehnya. Aku tidak berani
mengambil HP ku, takut dipukul olehnya. Temanku melihat apa yang dia lakukan
saja, dia sudah berteriak dan memukul-mukul. Bener-bener serem aku melihat anak
itu. Sepertinya hiperaktifnya sudah cukup parah. Karena merasa putus asa, kami
pun meminta guru di situ untuk mengambilkan HP ku.
bersama anak-anak YPAC |
Nggak ada aku >.< |
Guru tersebut
menghitung 1 sampai 5, saat itu wajah Steven terlihat ketakutan, saat dia legah
itulah, ibu guru tersebut langsung mengambil HP ku. Tetapi ya itu, setelah itu
Steven mengamuk. Orang yang berada di sekelilingnya dipukuli olehnya. Temanku
yang duduk di sebelahnya langsung bangun dan menghindar. Begitu pula aku dan
teman-temanku yang lain. Kami berusaha menjauhi Steven. Kami takut terkena
pukulannya. Sayang sekali, secara fisik Steven seperti anak normal lainnya.
Wajahnya juga tampan. Kulitnya putih bersih.
Setelah insiden
rebut-rebutan HP tersebut rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dar tempat itu.
Dan kami pun memutuskan untuk pulang. Kami bersalaman dengan anak-anak tersebut
dan juga pendamping mereka. Dan terakhir ibu resepsionis. Akhirnya, kami keluar
juga!!! Lega rasanya…
Mungkin karena baru
pertama kali ke tempat seperti itu dan juga bertemu dengan orang-orang seperti
itu, kami masih merasa takut dan jijik. Sebenarnya mereka sama kok dengan
anak-anak lainnya. Hanya, ya itu tadi, kami masih butuh proses. Mau nggak mau
kami harus melawan rasa takut dan jijik tersebut. Karena observasi tersebut
akan berlangsung selama dua minggu. Cukup lama kan?
Aku jadi teringat
dosenku. Beliau pernah bercerita, dulu saat masih mahasiswa, saat pertama kali
ke tempat anak cacat mental, beliau keesokan harinya langsung sakit. Karena
masih belum bisa beradaptasi untuk berhadapan dengan orang yang berkebutuhan
khusus tersebut. Jadi perasaan takut itu wajar berarti ya?
Aku juga akan berusaha
untuk menghilangkan rasa takut dan 'jijik' 'saat melihat mereka. Karena aku kuliah
di jurusan Psikologi, kedepannya aku akan sering berhadapan dengan orang-orang
seperti itu, meskipun aku tidak mengambil Psikologi klinis.
Everything
need process, right?
Malang, 5 Mei 2012
Wow berjiwa sosial tinggi :)
BalasHapusHehehe, sebenarnya ini karena memang tugasku sebagai mahasiswa psikologi...
HapusCpirit Girls ^_^
BalasHapus